Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada kasus yang mencoreng nama
pendidikan. Kasus jual beli gelar yang dipraktekkan oleh IMGI. Cara memperoleh
gelar ini sangatlah mudah, Anda tinggal menyetor 10-25 juta, dan Anda dapat
gelar yang Anda inginkan..Tinggal pilih...apakah S1, S2, atau S3....benar-benar
edan! Sebagian orang mabuk kepayang akan nilai gelar yang memabukkan. Dan tidak
tanggung-tanggung yang pernah membeli gelar dari IMGI ini...sekitar 5000 orang.
Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui
batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib
ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan
pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar
kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka
mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang
sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).
Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?
Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?
Artikel resmi dari http://pendidikanindonesia.blogspot.com/2005/08/gelarmabuknya-pendidikan.html.
Diakses 20 Oktober 2013
Artikel diatas terdapat dalam sebuah blog bernama Pendidikan Indonesia.
Artikel diatas meupakan sindiran sinisme terhadap semakin buramnya potret
pendidikan Indonesia yang kini semakin canggih dalam memanipulasi data
seseorang. Memanipulasi gelar agar terlihat intellect demi meraih sebuah
tujuan tertentu. Menghalalkan segala cara agar tujuan tersebut dapat dicapai. Salah
satu contoh tujuan yang disinggung dalam artikel tersebut adalah tujuan
politik. Dimana seseorang rela mengeluarkan sejumlah dana tertentu untuk membeli
sebuah titel pendidikan sebagai salah satu senjata dalam meraih simpatik massa.
Pencantuman gelar dalam ajang kampanye kerap dinilai sebagai elemen penting
yang wajib disisipkan didalam nama calon anggota legislatif. Para calon anggota
legislatif tersebut merasa bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi masyarakat
agar percaya bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas yang mumpuni untuk
menduduki kursi kepentingan tersebut.
Memang tak dapat dipungkiri daya tarik seseorang yang memiliki
intelektualitas tinggi memberikan dampak trust atau percaya terhadap
individu yang bersangkutan. Dengan pengetahuan yang luas serta pengalaman yang
kaya, masyarakat merasa dapat memercayakan atau melimpahkan kewenangan
legislatif terhadap para calon terpilih. Berangkat dari asumsi ini, banyak para
calon yang memodifikasi riwayat pendidikan mereka, yang sebetulnya tidak pernah dienyam seperti
yang tertera pada gelarnya. Luar biasa, bukan?
Namun, seleksi alam tetap berlaku. Banyak anggota DPR yang telah terbukti
memalsukan ijazah, dan gelar akademisnya berakhir dengan menanggalkan
jabatannya. Walaupun seleksi alam terus berjalan, alangkah baiknya jika jauh
sebelum mereka terpilih menjabat posisi tersebut, masyarakat seharusnya tidak
memilih calon-calon yang tong kosong nyaring bunyinya. Masyarakat
tentunya harus dapat membedakan seseorang yang memang betul-betul intellect
akan memliki kharisma yang berbeda. Serta, dalam kampanye mereka lebih berfokus
terhadap langkah-langkah konkret kearah perubahan, daripada sekedar janji manis
yang bersifat fatamorgana. Kemampuan intelektualitas seseorang tidak selamanya
diindikasikan dalam sebuah ijazah, atau gelar semata. Justru kemampuan
softskill lebih banyak berperan dalam aplikasi dari kemampuan akademis
tersebut.
Tentunya perilaku tercemar ini ada sanksi hukumnya, salah satu diantaranya
adalah dibebastugaskan atau dicopot dari jabatannya. Jika pemerintah mampu
memperketat sistem pencalonan serta tata tertib sanksi yang berlaku jika
seseorang terbukti melakukan tindakan kecurangan dan masyarakat mampu merubah
pandangan tentang kepentingan sebuah embel-embel gelar, maka kasus seperti ini mungkin
tidak akan terjadi lagi.
No comments:
Post a Comment