Sunday, October 20, 2013

Review Artikel : Gelar....Mabuknya Pendidikan

Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada kasus yang mencoreng nama pendidikan. Kasus jual beli gelar yang dipraktekkan oleh IMGI. Cara memperoleh gelar ini sangatlah mudah, Anda tinggal menyetor 10-25 juta, dan Anda dapat gelar yang Anda inginkan..Tinggal pilih...apakah S1, S2, atau S3....benar-benar edan! Sebagian orang mabuk kepayang akan nilai gelar yang memabukkan. Dan tidak tanggung-tanggung yang pernah membeli gelar dari IMGI ini...sekitar 5000 orang.
Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).

Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka? 



Artikel diatas terdapat dalam sebuah blog bernama Pendidikan Indonesia. Artikel diatas meupakan sindiran sinisme terhadap semakin buramnya potret pendidikan Indonesia yang kini semakin canggih dalam memanipulasi data seseorang. Memanipulasi gelar agar terlihat intellect demi meraih sebuah tujuan tertentu. Menghalalkan segala cara agar tujuan tersebut dapat dicapai. Salah satu contoh tujuan yang disinggung dalam artikel tersebut adalah tujuan politik. Dimana seseorang rela mengeluarkan sejumlah dana tertentu untuk membeli sebuah titel pendidikan sebagai salah satu senjata dalam meraih simpatik massa. Pencantuman gelar dalam ajang kampanye kerap dinilai sebagai elemen penting yang wajib disisipkan didalam nama calon anggota legislatif. Para calon anggota legislatif tersebut merasa bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi masyarakat agar percaya bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menduduki kursi kepentingan tersebut. 

Memang tak dapat dipungkiri daya tarik seseorang yang memiliki intelektualitas tinggi memberikan dampak trust atau percaya terhadap individu yang bersangkutan. Dengan pengetahuan yang luas serta pengalaman yang kaya, masyarakat merasa dapat memercayakan atau melimpahkan kewenangan legislatif terhadap para calon terpilih. Berangkat dari asumsi ini, banyak para calon yang memodifikasi riwayat pendidikan mereka,  yang sebetulnya tidak pernah dienyam seperti yang tertera pada gelarnya. Luar biasa, bukan?
Namun, seleksi alam tetap berlaku. Banyak anggota DPR yang telah terbukti memalsukan ijazah, dan gelar akademisnya berakhir dengan menanggalkan jabatannya. Walaupun seleksi alam terus berjalan, alangkah baiknya jika jauh sebelum mereka terpilih menjabat posisi tersebut, masyarakat seharusnya tidak memilih calon-calon yang tong kosong nyaring bunyinya. Masyarakat tentunya harus dapat membedakan seseorang yang memang betul-betul intellect akan memliki kharisma yang berbeda. Serta, dalam kampanye mereka lebih berfokus terhadap langkah-langkah konkret kearah perubahan, daripada sekedar janji manis yang bersifat fatamorgana. Kemampuan intelektualitas seseorang tidak selamanya diindikasikan dalam sebuah ijazah, atau gelar semata. Justru kemampuan softskill lebih banyak berperan dalam aplikasi dari kemampuan akademis tersebut. 

Tentunya perilaku tercemar ini ada sanksi hukumnya, salah satu diantaranya adalah dibebastugaskan atau dicopot dari jabatannya. Jika pemerintah mampu memperketat sistem pencalonan serta tata tertib sanksi yang berlaku jika seseorang terbukti melakukan tindakan kecurangan dan masyarakat mampu merubah pandangan tentang kepentingan sebuah embel-embel gelar, maka kasus seperti ini mungkin tidak akan terjadi lagi.




No comments:

Post a Comment